Sunday, 29 October 2017

Makalah Pencegahan Konflik, Pembagian Konflik, Analisis Konflik, dan Strategi Konflik

A.    Pendahuluan
Konflik merupakan hal yang tidak bisa dihindari oleh manusia. Konflikmerupakan hal yang alami, yang setiap individu pasti pernah dihadapkan dalam suasana demikian. Dalam kondisi yang tampak damai pun, masih terdapat potensi konflik atau konflik yang sifatnya masih tersembunyi (latent conflict).
Agar tetap menjaga kondisi yang harmonis maka diperlukan upaya khusus untuk menangani konflik. Jika konflik masih berada pada tahap latent, maka salah satu pendekatan yang dapat digunakan adalah pendekatan pencegahan konflik (conflictprevention). Pencegahan konflik merupakan salah satu pendekatan yang digunakan dalam rangka penyelesaian konflik. Pencegahan konflik atau biasa dikenal dengan conflict prevention bertujuan untuk mencegah konflik agar tidak mencapai padatingkat open conflict. Artinya, pencegahan konflik merupakan langkah awal agar konflik tidak muncul sebagai tindakan yang destruktif. Untuk itu, konflik harus bisa dikelola agar tidak sampai pada tindak kekerasan. Di dalam makalah ini akan dijelaskan tentang apa yang dimaksud dengan pencegahan konflik, apa saja pembagian konflik, bagaimana analisis konflik, bagaimanah strategi konflik.

B.     Pengertian Pencegahan Konflik (Conflict Prevention)
Menurut Selo Sumardjan dan Soelaeman Soemardi konflik merupakan salah satu bentuk interaksi sosial yang terjadi akibat adanya ketegangan antara satu pihak dengan pihak lain.[1] Sedangkan menurut Soerjono Soekanto, konflik adalah proses pencapaian tujuan dengan cara mengalahkan pihak lawan tanpa memperhatikan norma dan nilai yang berlaku.
kata conflict dipahami sebagai hubungan yang tidak harmoni antar individu. Sedangkan kata prevention dapat dipahami sebagai bentuk pencegahan, artinya proses awal dari serangkaian upaya pengelolaan konflik. Konflik juga berarti proses yang menyangkut usaha suatu kelompok tertentu untuk menghancurkan kelompok lain seperti konflik kelas.[2]
Jacob Bercovitch memberikan definisi pencegahan konflik yaitu Pencegahan konflik pada dasarnya adalah tentang sarana mengakhiri bagaimana mengidentifikasi situasi yang mungkin menjadi berbahaya, kekerasan sangat merusak, dan bagaimana untuk menghentikan mereka menjadi demikian. Ini bukan tentang mencegah konflik normal sehari-hari melainkan usaha menghindari kekerasan dan perusakan secara turun temurun.
C.    Pembagian konflik
Simon Fisher sebagaimana dikutip Mukhsin Jamil (dkk) membagi konflik ke dalam empat tipe, yaitu Pertama, kondisi tanpa konflik (no conflict). Artinya, kondisi yang menunjukkan ketiadaan konflik. Tipe pertama ini sering  juga disebut dengan “nihil konflik”. Namun demikian, realita kehidupan tidak selalu berjalan sesuai dengan apa yang diidamkan. Setiap orang pasti mendambakan kehidupan yang nihil konflik, damai, tentram. Namun, pada kenyataannya konflik hadir secara alami dalam kehidupan manusia. Persinggunan pendapat, perbedaan kepentingan atau bahkan permusuhan kerap kali terjadi dalam kehidupan manusia. Adapula yang menggambarkan kondisi tanpa konflik yaitu kondisi yang menggambarkan situasi yang relatif stabil, hubungan-hubungan antar kelompok  bisa saling memenuhi dan damai, tipe ini bukan berarti tidak ada konflik dalam masyarakat, akan tetapi ada kemungkinan atas situasi ini,  pertama: masyarakat mampu menciptakan struktur sosial yang bersifat mencegah kearah politik kekerasan. Kedua, sifat budaya yang memungkinkan anggota masyarakat menjauhi permusuhan dan kekerasan.[3]
Maka dari itu, dalam kondisi yang tampak damai, sebenarnya masih berpotensi terjadi konflik di dalamnya. Menurut Achmad Gunaryo, konflik merupakan bagian dari kehidupan karena harmoni adalah bagian kehidupan. Keberadaanya bagaikan dua sisi pada mata uang yang sama. Dimana ada harmoni, maka di situ ada (setidaknya potensi) konflik.[4]
Kedua, konflik laten (latent conflict). Konflik laten adalah konflik yang berada di bawah permukaan sebelum dapat diselesaikan secara efektif. Pada tipe ini, menggambarkan pula pada suatu keadaan yang di dalamnya terdapat banyak persoalan, sifatnya tersembunyi dan perlu diangkat ke permukaan agar biasa ditangani.
Ketiga, konflik terbuka (open conflict). Konflik ini mengakar secara dalam serta sangat tampak jelas, dan membutuhkan tindakan untuk mengatasi penyebab yang mengakar serta efek yang tampak.
Keempat, konflik permukaan (surface conflict). Konflik ini memiliki akar yang tidak dalam atau tidak mengakar. Mungkin pula bahwa konfik permukaan ini muncul karena kesalahan pemahaman mengenai sasaran dan dapat diatasi dengan perbaikan komunikasi.[5]

D.    Analisis konflik
Untuk mengetahui penyebab konflik, dapat menggunakan alat analisis konflik. SimonFisher dalam Mukhsin Jamil, menawarkan beberapa alat analisis konflik, yaitu stage of conflict, dengan menggunakan alat ini, maka akan dapat ditemukan tahapan-tahapan dalam konflik. Sedangkan dengan menggunakan alat time lines bisa mengetahui kronologi kofliksecara berurutan.
Adapun analisis conflict maping, alat ini akan menjelaskan tentang siapa saja yang terlibat dalam konflik, isu yang menjadi faktor penyebab konflik, dan relasi antar aktor. Kemudian, dengan menggunakan alat segitiga ABC, maka akan dapat mengidentifikasi attitude, behaviour, dan context. Berbeda dengan theonion, alat ini membantu mengemukakan tiga hal inti dalam konflik, yaitu, posisi (position), kepentingan (interest), dan kebutuhan (need). Adapun alat force-field analysis membantu mengemukakan berbagai pihak yang mendukung atau melemahkan upaya perdamaian dalam suatu konflik. Conflict tree analysis akan menguraikan penyebabkonflik, inti permasalahan, serta efek yang muncul akibat konflik. Alat pillars analysis, alat ini akan menguraikan faktor yang menopang munculnya konflik.

E.     Strategi Pencegahan Konflik
Strategi untuk pencegahan konflik merupakan strategi sangat penting sehubungan dengan banyaknya potensi konflik dalam masyarakat sipil dan kebijakan yang tidak demokratis. Pada dasarnya, pencegahan konflik merupakan cara untuk mencegah konflik untuk tidak bereskalasi menjadi konflik lebih besar. Ketika pencegahan konflik dilakukan, maka akan meminimalisir kekerasan, bahkan menghilangkan kekerasan. Dengan demikian, maka akan tercapai kondisi yang penuh dengan kedamaian dan kasih sayang. Oleh karenanya, menurut Johan Galtung, untuk menerapkan kondisi yang damai, maka setiap individu dan atau masyarakat harus ada kehendak untuk mewujudkan. Dalam hal ini, tidak hanya untuk mengurangi kekerasan (pengobatan) akan tetapi juga ikhtiar untuk menghindari kekerasan (pencegahan). Karena kekerasan merupakan sesuatu yang destruktif, merugikan dan membuat manusia kurang beradab.
Nilai-nilai perdamaian ini, selain merupakan dorongan intrinsik dalam diri manusia, juga di inspirasi dari pandangan-pandangan keagamaan nilai-nilai perdamaian juga bersumber dari nilai-nilai ajaran agama (doktrin agama).  Misalnya, dalam Islam,  pesan perdamaian terletak pada term islam dan muslim yang sering diartikan sebagai keselamatan atau kedamaian. Sedangkan dalam ajaran Kristen, terdapat pula nilai-nilai perdamaian yang tercakup dalam pesan Yesus yang berkata “Kedamaianku Aku berikan atasmu”. Pesan serupa juga terdapat dalam Bhagavat Gita (kitab suci agama Hindu) yang mengisahkan perjalanan Mahabarata melalui cara-cara perdamaian ketimbang kekerasan.
Terdapat dua jenis cara untuk mencegah konflik Miall et al. (2000) menyebutnya sebagai light prevention dan deep prevention. Light prevention ini berupaya untuk mencegah situasi kekerasan mengarah pada konflik bersenjata sehingga ia tidak berusaha untuk menyelidik lebih dalam pada sumber dan akar konflik sedangkan deep prevention berupaya untuk menemukan akar konflik dengan menekankan hubungan dan kepentingan atas konflik tersebut dalam tatanan kapasitas domestik, regional, dan internasional untk mengelola konflik, yang melibatkan seluruh elemen konflik dan bertujuan untuk mengurangi kemungkinan timbulnya konflik (Miall et al., 2000).

F.     Kesimpulan
Pencegahan konflik merupakan salah satu pendekatan yang digunakan dalam rangka penyelesaian konflik. Pencegahan konflik atau biasa dikenal denganconflict prevention bertujuan untuk mencegah konflik agar tidak mencapaipadatingkat open conflict. Artinya, pencegahan konflik merupakanlangkahawalagarkonflik tidak muncul sebagai tindakan yang destruktif. Untukitu, konflik harus bisa dikelola agar tidak sampai pada tindak kekerasan.

G.    DAFTAR PUSTAKA
  • Soeleman Soemardi, 1974,  Setangkai Bunga Sosiologi Jakarta: Yayasan Badan Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
  • Soerjono Soekanto Soerjono,  1985, Kamus Sosiologi, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
  • Novri Susan, 2009, Sosiologi Konflik Dan Isu-isu Konflik Kontemporer, Jakarta: Kencana.



[1] Selo Soemardjan, Soemardi, Soeleman, Setangkai BungaSosiologi, (Jakarta: Yayasan
Badan PenerbitFakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1974), h. 177

[2] Soerjono Soekanto, Kamus Sosiologi, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1985), h. 99
[3] Novri Susan, Sosiologi Konflik Dan Isu-isu Konflik Kontemporer, (Jakarta: Kencana,
2009), h. 92-93

[4] Mukhsin jamil (ed)., op.cit, h. 30
[5] Mukhsin jamil (ed), op.cit., h. 13

Makalah Penyesuaian Diri (Pengertian Penyesuaian Diri, Bentuk-Bentuk Penyesuaian Diri dan Kebutuhan Akan Penyesuaian Diri)


A.    Pendahuluan
Setiap manusia pasti melakukan penyesuaian diri, baik penyesuaian secara biologis maupun sosial. Secara biologi misalnya seseorang yang sudah terbiasa hidup di daerah dingin dan pindah ke daerah panas, maka ia harus menyesuaikan diri dengan lingkungan/iklim di daerah tersebut. Secara sosial misalnya anak rantau yang sebelumnya tidak mengenal daerah barunya, maka ia harus menyesuaikan diri dengan lingkungan tersebut, ia juga harus berinteraksi atau bersosialisasi dengan masyarakat sekitar supaya terjalin hubungan baik. Jangan sampai malah mempawa dampak buruk akibat kedatangannya tersebut. Setiap manusia juga harus dituntut untuk dapat menyesuaikan dirinya dalam segala situasi dan kondisi apapun.
Dalam makalah ini akan dijelaskan lebih detail tentang bagaimana pengertian penyesuaian diri, bentuk-bentuk penyesuaian diri dan kebutuhan akan penyesuaian diri.

B.     Pengertian Penyesuaian  Diri
Penyesuaian diri merupakan suatu konstruk psikologi yang luas dan kompleks, serta melibatkan semua reaksi individu terhadap tuntutan yang baik dari lingkungan luar maupun dari dalam individu itu sendiri. Dengan perkataan lain, masalah penyesuaian diri menyangkut seluruh aspek kepribadian individu dalam interaksinya dengan lingkungan dalam dan luar dirinya.
Pengertian luas tentang proses penyesuaian terbentuk seseuai dengan hubungan individu dengan lingkungan sosialnya, yang dituntut dari individu tidak hanya mengubah kalakuannya dalam menghadapi kebutuhan-kebutuhan darinya dari dalam dan keadaan di luar, dalam lingkungan di mana ia hidup, akan tetapi juga dituntut untuk menyesuaikan diri dengan adanya orang lain dan macam-macam kegiatan mereka. Jike mereka ingin penyesuaian, maka hal itu menuntut adanya penyesuaian antara keinginan masing-masingnya dengan suasana lingkungan sosial tempat mereka bekerja. 
Penyesuaian diri pada prinsipnya merupakan suatu proses yang mencakup respons mental dan tingkah laku, dengan mana individu berusaha untuk dapat berhasil mengatasi kebutuhan-kebutuhan dalam dirinya, ketegangan-ketegangan, konflik-konflik dan frustasi yang dialaminya, sehingga terwujud tingkat keselarasan atau harmoni antara tuntutan dari dalam diri dengan apa yang diharapkan oleh lingkungan di mana ia tinggal.[1]
Menurut Schneiders (1984) penyesuaian diri yaitu suatu proses yang mencakup respon-respon mental behavioral yang diperjuangkan individu agar dapat berhasil menghadapi kebutuhan-kebutuhan internal, ketegangan, frustasi, konflik, serta untuk menghasilkan kualitas keselarasaan antara tuntutan dari dalam diri individu dengan tuntutan dari luar dunia atau lingkungan tempat individu berbeda.

C.    Bentuk-Bentuk Penyesuaian diri
Seseorang dapat dikatakan memiliki penyesuaian diri yang baik (well adjusted person) manakala mampu melakukan respon-respon yang matang , efisien, memuaskan, dan sehat. Dikatakan efisien artinya mampu melakukan respons dengan melakukan dengan mengeluarkan tenaga dan waktu sehemat mungkin. Dikatakan sehat artinya bahwa respons yang dilakukannya dengan hakikat individu, lembaga atau kelompok antarindividu, dan hubungan antar individu dengan penciptanya. Sebaliknya, reaksi yang tidak memuaskan, tidak efektif, dan tidak efisien seringkali diartikan sebagai penyesuaian diri yang kurang baik, buruk, atau dikenal dengan istilah “malasuai” (maladjustment).
Menurut Schneiders (1984) bentuk penyesuaian diri dapat ditinjau dari tiga sudut pandang, yaitu :
1.      Penyesuaian diri sebagai bentuk adaptasi (adaptation)
Pada mulanya penyesuaian diri diartikan sama dengan adaptasi padahal adaptasi ini umumnya lebih mengarah pada penyasuaian diri dalam arti fisik, fisiologis, atau biologis. Misalnya, seseorang yang pindah tempat dari daerah panas ke daerah dingin harus beradaptasi dengan iklim yang berlaku didaerah dingin tersebut. Dengan demikian, dilihat dari sudut pandang ini, penyesuaian diri cenderung diartikan sebagai usaha mempertahankan diri secara fisik (self-maintenance atau survival). Oleh sebab itu, jika penyesuaian diri hanya diartikan sama dengan usaha mempertahankan diri maka hanya selaras dengan keadaan fisik saja, bukan penyesuaian diri dalam arti psikologis. Akibatnya, adanya kompleksitas kepribadian individu serta adanya hubungan kepribadian individu dengan lingkungan menjadi terabaikan. Padahal, dalam penyesuaian diri sesungguhnya tidak sekedar penyesuaian fisik, melainkan yang lebih kompleks dan lebih penting lagi adalah adanya keunikan dan keberbedaan kepribadian individu dalam hubungannya dengan lingkungan.
2.      Penyesuaian diri sebagai bentuk konformitas (conformity)
Penyesuaian diri dimaknai sebagai bentuk konformitas banyak membawa akibat lain. Dengan memaknai penyesuaian diri sebagai usaha konformitas, menyiratkan bahwa di sana individu seakan-akan mendapat tekanan kuat untuk harus selalu mampu mengindarkan diri dari penyimpangan perilaku, baik secara moral, sosial maupun emosional. Dalam sudut pandang ini, individu selalu diarahkan kepada tuntutan konformitas dan terancam akan tertolak dirinya manakala perilakunya tidak sesuai dengan norma-norma yang berlaku.
Keragaman pada individu menyebabkan penyesuaian diri tidak dapat dimaknai sebagai usaha konformitas. Misalnya, pola perilaku anak-anak berbakat atau anak-anak genius ada yang tidak berlaku atau tidak dapat diterima oleh anak-anak berkemampuan biasa. Namun demikian, tidak dapat dikatakan behwa mereka mampu menyesuaikan diri. Norma-norma sosial dan budaya terkadang terlalu kaku dan tidak masuk akal untuk dikenakan pada anak-anak yang memiliki keunggulan tingkat inteligensi atau anak-anak berbakat. Selain itu, norma yang berlaku pada suatu budaya tertentu tidak sama dengan norma pada budaya lainnya sehingga tidak mungkin merumuskan serangkaian prinsip-prinsip penyesuaian diri berdasarkan budaya yang dapat diterima secara universal. Dengan demikian, konsep penyesuaian diri sesungguhnya bersifat dinamis dan tidak dapat disusun berdasarkan konformitas sosial.
3.      Penyesuaian diri sebagai bentuk usaha penguasaan (mastery)
Penyesuaian diri sebagai bentuk usaha penguasaan yaitu kemampuan untuk merencanakan dan mengorganisasikan respons dalam cara-cara tertentu sehingga konflik-konflik, kesulitan, dan frustasi tidak terjadi. Dengan kata lain, penyesuaian diri diartikan sebagai kemampuan penguasaan dalam mengembangkan diri sehingga dorongan, emosi, dan kebiasaan menjadi terkendali dan terarah. Hal itu juga berarti penguasaan dalam memiliki-kekuatan-kekuatan terhadap lingkungan, yaitu kemampuan menyesuaikan diri dengan realitas berdasarkan cara-cara yang baik, akurat, sehat, dan mampu bekerja sama dengan orang lain secara efektif dan efisien, serta mampu memanipulasi faktor-faktor lingkungan sehingga penyesuaian diri dapat berlangsung dengan baik.[2]

D.    Kebutuhan Akan Penyesuaian Diri
Nilai terakhir bagi individu dari hasil-hasil pendidikannya terletak pada sampai sejauh manakah apa yang telah dipelajarinya atau proses yang telah dilaluinya. Sesuai bagi dirinya untuk penyesuaian yang wajar terhadap kebutuhan-kebutuhan hidupnya sendiri dan terhadap tuntutan-tuntutan yang datang dari masyarakat. Ia membawakan pengalaman-pengalaman pendidikannya dalam jumlah kebulatan yang berupa ebilitas-ebilitas, keinginan-keinginan, dan sikap-sikap. Dengan pengalaman-englaman yang diperoleh dari sekolah dan dari luar sekolah secara terus-menerus dibentuk ke dalam jenis pribadi yang sekarang dan kemungkinan apa saja yang akan terjadi atas dirinya. Seluruh tempat-tempat yang mempunyai relasi dengan perkembangan anak dan adolesen terutama rumah tangga dan sekolah harus seawal mungkin disadari peranannya pada tingkah laku individu sebagai faktor-faktor yang berarti dalam memberi gambaran pencapaian kepuasan dan produktifitas. Seorang individu tidak dilahirkan dengan kelengkapan dapat menyesuaikan diri secara wajar atau tidak. Dalam hal ini potensi-potensi fisik, mental dan emosional dipengaruhi dan dibentuk oleh faktor-faktor lingkungan dimana ia menemukan dirinya bahwa ejasmen atau melajasmen itu berkembang berangsur-angsur.[3]
Kebutuhan akan penyesuaian diri sangatlah penting dan perlu adanya penyesuaian diri yang sehat, yaitu meliputi : 1) kematangan emosional; 2) kematangan intelektual; 3) kematangan sosial; dan 4) tanggung jawab.
1.      Kematangan emosional mencakup aspek-apek:
a.       Kemantapan suasana kehidupan emosional.
b.      Kemantapan suasana kehidupan kebersamaan dengan orang lain.
c.       Kemantapan untuk santai, gembira, dan menyatakan kejengkelan.
d.      Sikap dan perasaan terhadap kemampuan dan kenyataan diri sendiri.
2.      Kematangan intelektual mencakup aspek-aspek:
a.       Kemampuan mencapai wawasan diri sendiri.
b.      Kemampuan memahami orang lain dan keragamannya.
c.       Kemampuan mengambil keputusan.
d.      Keterbukaan dalam mengenal lingkungan.
3.      Kematangan sosial mencakup aspek-aspek:
a.       Keterlibatan dalam partisipasi sosial.
b.      Kesediaan kerja sama.
c.       Kemampuan kepemimpinan.
d.      Sikap toleransi.
e.       Keakraban dalam pergaulan.
4.      Tanggung jawab mencakup aspek-aspek:
a.       Sikap produktif dalam mengembangkan diri.
b.      Melakukan perencanaan dan melaksanakan secara fleksibel.
c.       Sikap altruisme, empati, bersahabat dalam hubungan interpersonal.
d.      Kesadaran akan etika dan hidup jujur.
e.       Melihat perilaku dari segi konsekuensi atas dasar sistem nilai.
f.        Kemampuan bertindak independen.[4]

E.     Kesimpulan
Penyesuaian diri merupakan suatu konstruk psikologi yang luas dan kompleks, serta melibatkan semua reaksi individu terhadap tuntutan yang baik dari lingkungan luar maupun dari dalam individu itu sendiri.
Menurut Schneiders (1984) bentuk penyesuaian diri dapat ditinjau dari tiga sudut pandang, yaitu :
1.      Penyesuaian diri sebagai bentuk adaptasi (adaptation).
2.      Penyesuaian diri sebagai bentuk konformitas (conformity).
3.      Penyesuaian diri sebagai bentuk usaha penguasaan (mastery)
Nilai terakhir bagi individu dari hasil-hasil pendidikannya terletak pada sampai sejauh manakah apa yang telah dipelajarinya atau proses yang telah dilaluinya. Sesuai bagi dirinya untuk penyesuaian yang wajar terhadap kebutuhan-kebutuhan hidupnya sendiri dan terhadap tuntutan-tuntutan yang datang dari masyarakat.
Kebutuhan akan penyesuaian diri sangatlah penting dan perlu adanya penyesuaian diri yang sehat, yaitu meliputi : 1) kematangan emosional; 2) kematangan intelektual; 3) kematangan sosial; dan 4) tanggung jawab.

F.     DAFTAR PUSTAKA
·         Dra. Desmita, M.Si, Psikologi Perkembangan Peserta Didik, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2016.
·         Mohamad Ali dan Mohamad Ansrori, Psikologi Remaja, Jakarta: PT Bumi Aksara, 2017.
·         Drs. Z. Kasijan, Psikologi Pendidikan 2, Surabaya: PT Bina Ilmu, 1987.




[1] Dra. Desmita, M.Si, Psikologi Perkembangan Peserta Didik, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2016, H 191-193.
[2] Mohamad Ali dan Mohamad Ansrori, Psikologi Remaja, Jakarta: PT Bumi Aksara, 2017, H 173-176.
[3] Drs. Z. Kasijan, Psikologi Pendidikan 2, Surabaya: PT Bina Ilmu, 1987. H 217

[4] Dra. Desmita, M.Si, Psikologi Perkembangan Peserta Didik, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2016, H 195-196.