Friday, 27 October 2017

Agama dan Sains Dari Segi Filsafat

A.    Agama
Tidak mudah untuk memberikan definisi teehadap istilah Agama, yang merupakan terjemahan dari istilah religion dalam bahasa Inggris maupun din dalam bahasa Arab. Alasan kenapa sulit memberikan pengertian terhadap istilah itu karene pengalaman agama adalah hal yang subjektif, melibatkan emosi yang membicarakannya dan dipengaruhi oleh tujuan yang membicarakannya. Karena itulah tidak ada definisi tentang agama yang dapat diterima secara umum. Para ahli berbeda-beda dalam mendefinisikan agama sejalan dengan latar belakangnya masing-masing.
Harun Nasution menyatakan bahwa dalam agama terdapat 4 unsur penting yaitu:
1.      Kekuatan gaib, manusia merasa dirinya lemah dan berhajat pada kekuatan gaib. Karena itu manusia merasa harus berhubungan baik dengan kekuatan itu, dengan jalan mematuhi perintah dan larangannya.
2.      Keyakinan bahwa kesejahteraan manusia didunia dan di akhirat tergantung pada hubungan baik dengan kekuatan gaib itu.
3.      Respon yang bersifat emosional dari manusia, baik berupa perasaan takut maupun cinta, yang pada giirannya melahirkan bentuk penyembuhan dan cara hidup tertentu.
4.      Keyakinan terhadap yang suci terutama dalam bentuk kitab suci yang mengandung ajaran agama yang bersangkutan dan tempat-tempat tertentu.
Senada dengan Nasution, Benner juga menyebutkan beberapa unsur penting dalam agama, yaitu: kebaikan, pemisahan antara yang sakral dengan yang profan, kepercayaan terhadap jiwa, kepercayaan terhadap Dewa dan Tuhan, penerimaan terhadap wahyu yang supra natural, dan pencarian keselamatan.[1]  
Pengertian agama yang paling umum dipahami adalah bahwa kata agama berasal dari bahasa Sansekerta berasal dari kata a (tidak) dan gama (kacau), jadi kata agama berarti tidak kacau, tidak semrawut, hidup menjadi lurus dan benar. Agama menunjuk kepada jalan atau cara yang ditempuh untuk mencari keridhaan Tuhan. Dalam agama itu ada sesuatu yang dianggap berkuasa, yaitu Tuhan, zat yang memiliki segala sesuatu yang ada, yang berkuasa, yang mengatur seluruh alam beserta isinya.
Dalam kaitannya filsafat, agama dan filsafat mempunyai perbandingan yaitu : agama adalah unsur mutlak dan sumber kebudayaan, diciptakan oleh tuhan, sumber-sumber asumsi dari filsafat dan ilmu pengetahuan, mendahulukan kepercayaan daripada pemikiran, dan agama mempercayai akan adanya kebenaran dan khayalan dogma-dogma agama. Sedangkan filsafat adalah salah satu unsur kebudaayaan, hasil spekulasi manusia, menguji asumsi-asumsi science mulai dari asumsi tertentu, mempercayakan sepenuhnya kekuatan daya pemikiran dan filsafat tidak mengakui dogma-dogma agama sebagai kenyataan kebenaran.[2]


B.     Sains
Sains berasal dari bahasa latin scienta yang berarti pengetahuan atau mengetahui. Dari kata ini terbentuk kata science dalam bahasa Inggris. Ashley Montagu, guru besar Antropologi di Rutgers University, seperti yang dikutip oleh  Endang Saifuddin Anshari mendefinisikan ilmu pengetahuan ialah pengetahuan yang disusun dalam suatu sistema yang berasal dari pengamatan, studi dan percobaan untuk menentukan hakekat dan prinsip tentang hal yang sedang distudi.
Secara historis, ilmu merupakan model pengkajian alam semesta yang dikembangkan oleh para ilmuan barat sejak abad ke17, termasuk seluruh aplikasi praktisnya dalam wilayah teknologi. Francis Bacon meninggalkan ilmu yang lamayang deduktif dan mengusahakan ilmu yang baru yang induktif. Dengan munculnya Empirisme yang dirintis oleh bacon dan dikembangkan lebih lanjut oleh Tomas Hobbes, John Lock, dan David Hume, serta munculnya rasionalisme yang dipelopori oleh Rene Descartes, ilmu pengetahuan berkembang sedemikian cepat, dan dewasa ini telah mencapai taraf perkembangan yang mencengangkan. Hal ini sangat berbeda dengan perkembangan ilmu pada masa sebelumnya dari peradaban-peradaban kuno sampai abad pertengahan yang sangat lamban. Landasan filosofinya, ilmu menyangkut landasan ontologis, epistimologis, dan aksiologis. Dalam landasan tersebut, ilmu dalam kerangka peradigma positivistik. Ini sekaligus juga dimaksudkan untuk menunjukan dominasi paradigma positivistik dalam ilmu modern. Tentu ini bersifat simplistis, seakan-akan dalam ilmu modern, hanya ada stu paradigma yaitu paradigma positivistik. Dalam kenyataannya tidaklah demikian. Di Barat sendiri telah banyak pemikir yang muncul yang melakukan kritik terhadap ilmu yang positivistik itu, hanya saja harus diakui, meskipun telah banyak kritik terhadap paradigma positivistik dan telah muncul paradigma-paradigma yang lain, namun paradigma positivistik dalam kenyataannya masih mendominasi perkembangan ilmu sampai dengan dewasa ini.[3]
Ilmu dalam kaitannya filsafat, disebut sebagi induknya ilmu pengetahuan. Adapun perbedaan diantara keduanya ialah sebagai berikut:
a.       Lapangan ilmu pengetahuan mempunyai daerah-daerah tertentu, yakni alam dengan segala kejadiannya, sefangkan filsafat lapangan pembahasannya adalah tentang hakikat yang umum dan luas.
b.      Tujuan ilmu pengetahuan ialah berusaha menentukan sifat-sifat dari kejadian alam yang didalamnya juga terdapat menusia, sedangkan filsafat bertujuan untuk mengetahui tentang asal-usul manusia, hubungan manusia dengan alam semesta dan bagaimana akhirnya,
c.       Filsafat dalan pembahasannya tidak mempergunakan percobaan-percobaan serta penyelidikan panca indra, tetapi pembahasan penyelidikannya mempergunakan pikiran dan akal. Sedangkan ilmu pengetahuan dalam pembahasannya dan penyelidikannya mempergunakan panca indra dan percibaan-percobaan.
d.      Ilmu pengetahuan dalam menentukan kesimpulam-kesimpulan dapat diterapkan dengan dalil-dalil yakni yang didasarkan pada penglihatan dan percobaan-percobaan. Sebaliknya filsafat dalam menentukan kesimpulan tidak memberi keyakinan mutlak, sebagai kesimpulan selalu mengandung keraguan yang mengakibatkan perbedaan-perbedaan diantara ahli-ahi filsafat, serta jauh dari kepastian, kerja sama, serta keyakinan. [4]



[1] Sholihan, Pengntar Filsafat, (Semarang: CV Abadi Jaya: 2015) Hlm 58-61
[2] Susanto, Filsafat Ilmu, (Jakarta: PT Bumi Aksara: 2011) Hlm 125-127
[3] Sholihan, Pengntar Filsafat, (Semarang: CV Abadi Jaya: 2015) Hlm 51-58
[4] Susanto, Filsafat Ilmu, (Jakarta: PT Bumi Aksara: 2011) Hlm 127-128

0 comments:

Post a Comment