BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Secara historis filsafat merupakan induk ilmu, dalam perkembangannya ilmu makin terspesifikasi dan mandiri, namun mengingat banyaknya masalah kehidupan yang tidak bisa dijawab oleh ilmu, maka filsafat menjadi tumpuan untuk menjawabnya. Filsafat memberi penjelasan atau jawaban substansial dan radikal atas masalah tersebut. Sementara ilmu terus mengembangakan dirinya dalam batas-batas wilayahnya, dengan tetap dikritisi secara radikal. Proses atau interaksi tersebut pada dasarnya merupakan bidang kajian Filsafat Ilmu, oleh karena itu filsafat ilmu dapat dipandang sebagai upaya menjembatani jurang pemisah antara filsafat dengan ilmu, sehingga ilmu tidak menganggap rendah pada filsafat, dan filsafat tidak memandang ilmu sebagai suatu pemahaman atas alam secara dangkal.
Pada dasarnya filsafat ilmu merupakan kajian filosofis terhadap hal-hal yang berkaitan dengan ilmu, dengan kata lain filsafat ilmu merupakan upaya pengkajian dan pendalaman mengenai ilmu (Ilmu Pengetahuan/Sains), baik itu ciri substansinya, pemerolehannya, ataupun manfaat ilmu bagi kehidupan manusia. Pengkajian tersebut tidak terlepas dari acuan pokok filsafat yang tercakup dalam bidang ontologi, epistemologi, dan aksiologi dengan berbagai pengembangan dan pendalaman yang dilakukan oleh para ahli.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengertian filsafat ?
2. Bagaimana pengertian Ontologi, Epistimologi, dan Aksiologi ?
3. Bagaimana sejarah filsafat barat dan filsafat Islam ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Filsafat
Pengertian filsafat bermula dari munculnya kesadaran manusia akan potensi akal budinya. Mnculnya filsafat mulai dari tahun 1200 SM di Tiongkok, kemudian juga ke India dan Yunani. Namun dalam berbagai literatur, latar belakang pemikiran filsafat mengacu ke Yunani kuno. Tokoh-tokoh filsuf kondang, juga dirujuk ke kawasan ini, termasuk pengertian filsafat itu sendiri.
Memang selain di Yunani kuno, berbagai kawasan sudah terdapat peradaban-peradaban yang lebih tua yang berusia ribuan tahun seperti yang dijumpai di Asyyria, Babylonia, Mesir, dan Persia. Namun mereka masih memandang manusia sebagai makhluk remeh yang menyembah dewa dan raja-raja dengan kekuasaan absolut. Pandangan ini berbeda dengan pandangan orang Yunani mengenai harkat manusia. Mereka berkeyakinan bahwa manusia itu makhluk luhur, yang mempunyai kebebasan. Melalui pandangan seperti ini pula tampaknya, Yunani kuno mampu melahirkan pemikiran filsafat seperti yang dikenal sekarang.
Dikemukakan bahwa kata filosofi (phylosophy) yang diambil dari kata Yunani yaitu Phylo (suka, cinta) dan shopia (kebijaksanaan). Dengan demikian, filsafat berarti : cinta kepada kebijaksanaan. Berangkat dalam makna kata ini pula rujukan dari pengertian filsafat itu, seperti dalam bahasa inggris love of wisdom, dan bahasa arab muhibb al-hikmah, serta dalam bahasa belanda wijsbegeerte.
Pengertian etimologis ini tidak terhenti pada sebatas makna kata semata. Para pakar dalam bidang kajian filsafat memperluas makna yang terkandung dari kata asalnya itu. Pengembangan makna yang serupa juga dikemukakan John S. Brubacher dan dogabel runes. Bahwa pengertian filsafat secara etimologis cukup banyak.
John Brubacher mengemukakan, filsafat berasal dari kata Yunani filos dan sofia yang berarti cinta kebijaksanaan atau belajar. Lebih dari itu dapat diartikan cinta belajar pada umumnya, dalam proses pertumbuhan sains hanya ada didalam apa yang kita sebut sekarang filsafat. Karena itu sering dikataka filsafat adalah sebagai induk atau ratu ilmu pengetahuan.
Ada yang mengemukakan bahwa filsafat adalah sekumpulan sikap dan kepercayaan terhadap kehidupan alam yang biasa diterima secara tidak kritis. Filsafat juga diartikan sebagai suatu proses kritik terhadap kepercayaan dan sikap yang sangat kita junjung tinggi. Lalu ada yang mengatakan filsafat adalah usaha untuk mendapatkan gambaran keseluruhan. Kemudian filsafat juga adalah sebagai analisis logis dari bahasa, serta penjelasan arti dari konsep. Sedangkan pendpat lain mengemukakan bahwa filsafat adalah sekumpulan problema-problema yang langsung mendapatkan perhatian dari manusia yang dicarikan jawabannya oleh ahli-ahli filsafat.
Secara umum filsafat adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat segala sesuatu untuk memperoleh kebenaran. Ilmu pengetahuan tentang hakikat yang menanyakan hakikat atau sari atau inti atau esensi segala sesuatu. Filsafat adalah ilmu yag mencari sebab yang sedalam dalamnya bagi segala sesuatu yang ada . kemudian filsafat diartikan sebagai cara berpikir yang radikal dan menyeluruh, suatu cara berpikir yang mengupas sesuatu sedalam dalamnya.
Filsafat adalah refleksi rasional keadaan untuk mencapai hakikat dan memperoleh hikmah. Dan dalam pandangan Harold Titus, filsafat, dengan bekerja sama denga ilmu-ilmu lainnya, dapat memainkan peran yang sentral dalm memimpin kita ke arah keinginan-keiginan dan aspirasi-aspirasi baru. Selanjutnya Harold Titus merinci pengertian filsafat sebagai berikut:
1. Filsafat adalah sekumpulan sikap dan kepercayaan terhadap kehidupan dan alam yang bisa diterima secara kritis.
2. Filsafat adalah suatu proses kritik atau pemikiran terhadap kepercayaan dan sikap yag sngat kita junjung tinggi.
3. Filsafat adalah usaha untuk mendapatkan gambaran secara keseluruhan.
4. Filsafat adalah analisa logis dari bahasan serta penjelasan tentang arti kata dan konsep.
5. Filsafat adalah sekumpulan problema-problema yang langsung mendapatkan perhatian dari manusia dan dicari jawabanya oleh ahli filsafat.
Awalnya pokok permasalahan yang dikaji filsafat mencakup tiga segi, yakni logika, etika, dan estetika. Lima cabang utama filsafat kemudian ke cabang-cabang yang lebih spesifik, termasuk filsafat ilmu. Adapun cabang cabang yang dimaksud adalah 1) filsafat ilmu pengetahuan; 2) filsafat moral; 3) filsafat seni; 4) metafisika; 5) filsafat pemerintah; 6) filsafat agama; 7) filsafat ilmu; 8) filsafat pemerintahan; 9) filsafat hukum; 10) filsafat sejarah; 11) filsafat matematika.
Ciri-ciri pemikiran filsafat:
1) Deskriptif
2) Kritis dan Analitis
3) Evaluatif atau Normatif
4) Spekulatif
5) Sistematis
6) Mendalam
7) Mendasar
8) Menyeluruh
Kebenaran yang dihasilkan oleh filsafat, selain bersifat abstrak, juga spekulatif. Dengan berbekal kearifan filsafat, manusia belum mampu mengatasi dan memenuhi kebutuhan hidup yang bersifat kenkret. Filsafat mengerti apa yang seharusnya menjadi kebutuhan hidup sehari-hari, tetapi filsafat tidak mampu mengetahui bagaimana cara mengadakannya. Melalui lembaga ilmu pengetahuan, manusia dapat mengupayakan hasil yang bersifat konkret empirik, dan didasarkan atas fakta apa adanya. Hanya dengan ilmu pengetahuan, maka kebutuhan maka kebutuhan manusia yang bersifat nyata, konkret, dan khusus, dapat dipenuhi. Di rangkaian “penjelajahan” ini pula rasa ingin tahu manusia dalam upaya menemukan kebenaran melahirkan lembaga baru, yakni ilmu pengetahuan.[1]
B. Pengertian Ontologi, Epistimologi, Dan Aksiologi
1. Ontologi
Ontologi merupakan salah satu diantara lapangan penyelidikan kefilsafatan yang paling kuno. Awal mula alam pikiran Yunani telah menunjukan munculnya perenungan dibidang ontologi. Dalam persoalan ontologi orang menghadapi persoalan bagaimanakah kita menerangkan hakikat dari segala yang ada ini ? Pertama kali orang dihadapkan pada adanya dua macam kenyataan yang berupa materi dan rohani.
Ontologi berasal dari kata Yunani on (ada), dan ontos berarti keberadaan. sedangkan logos berarti pemikiran. Jadi ontologi adalah pemikiran mengenai yang ada dan keberadaanya. Kata onto berarti “yang ada secara nyata”, kenyataan yang sesungguhnya. Ontologi adalah ilmu yang mengkaji tentang hakikat ilmu. Hakikat apa yang dikaji. Dikemukakan pula bahwa ontologi ilmu yang mengkaji apa hakikat ilmu pengetahuan, kebenaran rasional, kebenaran deduktif, dan kenyataan empiris yang tidak lepas dari persepsi tentang apa dan bagimana (yang) “ada” itu.[2]
Ontologi adalah telaah secara filsafat yang ingin menjawab objek apa yang ditelaah oleh ilmu? Bagaimana wujud hakiki dari objek tersebut? Bagaimana hubungan objek tersebut dengan daya tangkap manusia (seperti berpikir, merasa, dan mengindra) yang membutuhkan pengetahuan?.
Menurut Neong Muhadjir ontologi membahas tentang yang ada, yang universal. Sedangkan menurut Jujun S. Suriasumantri ontologi membahas apa yang ingin kita ketahui, seberapa jauh kita ingin tahu. Sementar A. Dardiri mengatakan ontologi adalah menyelidiki sifat dasar dari apa yang nyata secara fundamental dan cara yang berbeda.
Dalam pemahaman ontologi dapat diketemukan pandangan-pandangan pokok pemikiran sebagai berikut:
a. Monoisme
Paham ini menganggap bahwa hakikat asal dari seluruh kenyataan itu hanyalah satu saja, tidak mungkin dua.
b. Dualisme
Aliran ini berpendapat bahwa benda terdiri dari dua macam hakikat sebagi sumbernya, yaitu hakikat materi dan hakikat ruhani, benda dan ruh, jasad dan spirit.
c. Pluralisme
Pandangan ini berpandangan bahwa segenap macam bentuk merupakan kenyataan.
d. Nihilisme
Berasal dari bahasa latin yang berarti nothing vatau tidak ada. Sebuah doktrin yang tidak mengakui validitas alternatif yang positif.
e. Agnostisisme
Paham ini mengingkari kesanggupan manusia untuk mengetahuin hakikat benda baiki materi maupun ruhani.[3]
2. EPISTIMOLOGI
Epistimologi atau teori pengetahuan ialah cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan, pengandaian-pengandaian, dan dasar-dasarnya serta pertanggung jawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki.
Epistimologi berasal dari kata Yunani episteme yang berarti “pengetahuan”, “pengetahuan yang benar”, “pengetahuan ilmiah”, dan logos yang berarti teori. Dengan demikian, secara etimologis, epistimologis dapat diartikan sebagai teori ilmu pengetahuan, membahas secara mendalam segenap proses yang terlihat dalam usaha kita untuk memperoleh pengetahuan. Sebab pengetahuan didapat melalui proses tertentu yang dinamakan metode keilmuan.[4]
Persoalan pokok etimologi adalah menyangkut persoalan apa yang dapat kita ketahui dan bagaimana cara mengetahuinya. Epistimologi adalah pengetahuan yang berusaha menjawab pertanyaan- pertanyaan yang mengacu kepada proses. Dalam pandangan epistimologi, setiap pengetahuan merupakan hasil dari pemeriksaan dan penyelidikan benda hingga akhirnya diketahui manusia.
Pengetahuan yang diperoleh oleh manusia melalui akal, indera, dan lain-lain mempunyai metode tersendiri dalam teori pengetahuan, diantaranya adalah:
a. Metode Induktif
Induksi adalah suatu metode yang menyimpulkan pernyataan-pernyataan hasil observasi disimpulkan dalam suatu pernyataan yang lebih umum.
b. Metode Deduktif
Deduksi adalah suatu metode yang menyimpulkan bahwa data data empirik diolah lebih lanjut dalam suatu sistem pernyataan yang runtut.
c. Metode Positivisme
Metode ini berpangkal dari apa yang telah diketahui, yang faktual, yang positif.
d. Metode Kontemplatif
Metode ini mengatakan adanya keterbatasan akal pikiran manusia untuk memperoleh pengetahuan, sehingga obyek yang dihasilkan pun berbeda-beda harusnya dikembangkan suatu kemampuan akal yang disebut dengan intuisi.
e. Metode Dialektis
Dalam filsafat, dialektika mula-mula berarti tanya jawab untuk mencapai kejernihan filsafat.[5]
3. AKSIOLOGI
Merujuk ke kata asalnya, aksiologi tersusun dari katabahasa Yunani axios (nilai) dan logos (teori). Aksiologi adalah “teori tentang nilai”. Nilai merupakan realitas yang abstrak yang berfungsisebagai daya pendorog yang menjadi pedoman dalam hidup. Nilai menempati kedudukan penting dalam kehidupan seseorang, sampai pada suatu tempat dimana sementara orang lebih siap mengorbankan hidup ketimbang mengorbankan nilai. Nilai dapat dilacak dari tiga realitas, yakni: pola tingkah laku, pola berpikir, dan sikap-sikap seorang pribadi atau kelompok.
Aksiologi diartikan sebagi teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh. Aksiologi berhubungan dengan penggunaan ilmu pengetahuan. Seperti dimaklumi, bahwa ilmu pengetahuan ditujukan untuk kehidupan manusia. Ilmu pengetahuan membantu mengatasi permasalahan yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari. dengan menguasai ilmu pengetahuan, manusia mampu mengobservasi, memprediksi, memanipulasi, dan menguasai alam. Sebagai contoh, musim hujan yang berkepanjanagan akan mendatangkan banjir, hasil observasi dari pengalaman berulang-ulang ini membawa pada kesimpulan tentang gejal alam ini. Berdasarkan kesimpulan selanjutnya dapat diprediksi kapan musim hujan terjadi, dan dapat mengakibatkan banjir. Selanjutnya melalui pengalaman diketahui pula bahwa air selalu mengalir ke tempat rendah. Atas dasar pemahaman ini maka dibuat manipulasi (saluran). Melalui saluran tersebut, luapan air akhirnya dapat diatasi. Gejala alam berupa banjir dapat dikuasai. Lebih dari itu dengan bantuan ilmu pengetahuan itu luapan air dapat dimanfaatkan. Ilmu pengetahuan tentang air ternyata sudah dikenal lam oleh manusia. Bahkan memasuki abad ke 20 kemampuan manusia merekayasa air telah melahirkan sedikitnya 20 cabang ilmu pengetahuan yang berkaitan langsung dengan air, atau hydrolic sciences.[6]
C. Sejarah Filsafat Barat Dan Filsafat Islam
1. Filsafat Barat
Periode filsafat Yunani merupakan periode sangat penting dalam sejarah peradaban manusia karena pada waktu ini terjadi perubahan pola pikir manusia dari mitosentris menjadi logosentris. Pola pikir mitrosentris adalah pola pikir masyarakat yang sangat mrngandallkan mitos untuk menjelaskan fenomena alam, seperti gempa bumi dan pelangi. Gempa bumi dianggap fenomena Dewa bumi yang sedang menggoyangkan kepalanya, namun sejak adanya filsafat fenomena alam tersebut tidak dianggap aktifitas dewa, tetapi aktifitas alam yang terjadi secara kausalitas. Dahulu manusia takut dengan alam namun sekarang didekati bahkan dieksploitasi.
Pertanyaan bagaimana kejadiannya, bagaimana kemajuannya dan kemana tujuannya ? selalu menjadi pertanyaan dikalangan filosof Yunani sehingga disebut filosof alam filosof alam pertama yang mengkaji tentang asal usul alam adalah Thales (624-546 SM). Ia digelari bapak filsafat karena dialah orang yang mula-mula berfilsafat dan mempertanyakan. “Apa sebenarnya asal usul alam semesta ini ?”. pertanyaan ini sangat mendasar, terlepas apapun jawabanya. Namun, yang penting adalah pertanyaan itu dijawabnya dengan pendekatan rasional, bukan dengna mitos atau kepercayaan. Ia mengatakan bahwa asal alam adalah air karena alam adalah unsur penting bagi setiap makhluk hidup, air dapat berubah menjadi benda gas, seperti uap dan benda padat seperti es, dan bumi ini juga berada diatas air.
Setelah Thales, muncul Aleximandros (610-540 SM). Ia mencoba menjelaskan bahwa substansi pertama itu bersifat kekal, tidak terbatas dan diatas segalanya yang dinamakan apieron. Ia adalah air, maka air harus meliputi segalanya yang termasuk api yang sebagai lawanya, tidak mungkin air dapat menyingkirkan anasir api. Maka dari itu Aus meliputi segalanya yang termasuk api yang sebagai lawanya, tidak mungkin air dapat menyingkirkan anasir api. Maka dari itu Alesximandros tidak puas. Dia mencari yang lebih dalam, yaitu zat yang tidak dapat diamati oleh panca indra.
Berbeda dengan Thales dan aleximandros, Heraklitos (540-480 SM) melihat bahwaa alam semasta ini selalu dalam keadaan berubah. Itu berarti bahwa bila kita hendak memahami kehidupan kosmos itu dinamis. Segala sesuatu saling bertentangan dan dalam perttentangan itulah kebenaran. Karena itu dia berkesimpulan tidak ada suatupun yang benar benar ada, semuanya menjadi ungkapan yang terkenal dari Heraklitos dalam menggambarkan perubahan ini adalah pantha rhei uden menei (semuanya mengalir dan tidak ada suatupun yang tinggal mantap). Itulah sebabnya ia menyimpulkan bahwa yang mendasar dari alam semesta ini bukan bahanya tetapi faktor dan penyebabnya.
Filosof alam yang cukup berpengaruh adalah Parmenides (515-440 SM) Pandanganya bertolak belakang dengan Heraklitos. Menurut Heraklitos realitas seluruhnya bkanlah sesuatu yang lain daripada gerak dan perubahan, sedangkan menurut Parmenides, gerak dan perubahan tidak mungkin terjadi. Menurutnya, realitas merupakan keseluruhan yang bersatu, tidak bergerak dan tidak berubah. Dia menegaskan bahwa yang ada itu ada. Inilah kebenaran.
Pytagoras (580-500 SM) mengembalikan segala sesuatu kepada bilangan. Baginya tidak ada satupun yang dialam semesta ini yang terlepas dari bilangan. Semua realitas dapat diukur dengan bilangan. Karena itu, dia berpendapat bahwa bilangan adalah unsur adalah unsur utama dari alam dan sekaligus menjadi ukuran.
Setelah berakhirnya masa para filosof alam, maka muncul masa transisi, yakni penelitian terhadap alam tidak menjadi fokus utama, tetepi sudah mulai menjurus pada penyelidikan pada manusia. Filosof alam ternyata tidak dapat memberikan jawaban yang memuaskan, sehingga tumbuhlah kaum “Sofis”. Kaum sofis ini memulai kajian tentang manusia dan menyatakan bahwa manusia adalah ukuran kebenaran.
Protagoras (481-411 SM) ia menyatakan bahwa manusia adalah ukuran kebenaran. Ia menyatakan bahwa kebenaranitu bersifat subjektif dan relatif. Akibatnya, tidak ada ukuran yang absolut dalam etika, metafisika, maupun agama. Bahkan teori matematika tidak dianggapnya mempunyai kebenaran yang absolut.
Para filosof setelah kaum sofis tidak setuju dengan pandangan tersebut. Seperti Socrastes, Plato dan Aristotles. Mereka menolak relativisme kaum sofis. Menurut meraka ada kebenaran objektif yang bergantung kepada manusia. Socrates berpendapat bahwa ajaran dan kehidupan adalah satu dan tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya oleh karena itu, dasar dari segala penelitian dan pembahasan adalah pengujian diri sendiri. Baginya pengetahuan yang sangat berharga adalah pengetahuan tentang diri dendiri
Setelah Socrates ada tokoh yang sangat menonjol yaitu Plato (429-347 SM) ia adalah murid Socrates yang menulis tentang ide-ide Socrates. Menurutnya, esensi itu mempunyai realitas yang ada didalam idea. Plato menggambarkan bahwa kebenaran umum adalah rujukan bagi alam empiris.
Puncak kejayaan filsafat yunani terjadi pada masa Aristoteles (384-322 SM) ia murid Plato, seorang filosof yang berhasil menemukan persoalan-persoalan besar filsafat yang disatukannya dalam satu sistem : logika, matematika, fisika dan metafisika. Logika Aristitoteles berdasarkan pada analisis bahasa yang disebut silogisme yang terdiri dari :
· Semua manusia akan mati (premis mayor)
· Socrates seorang manusia (premis minor)
· Socrates akan mati (konklusi)
Aristoteles yang pertama kali membagi filsafat pada hal yang teoretis dan praktis. Yang teoretis mencakup logika, metafisika, dan fisika. Sedangkan yang praktis mencakup etika, ekonomi dan politik.
Filsafat Yunani yang rasional itu boleh dikatakan berakhir setelah Aristoteles menuangkan pemikirannya. Akan tetapi sifat rasional itu masih digunakan selama berabad-abad sesudahnya sampai sebalum filsafat benar-benar memasuki dan tenggelam dala, abad pertengahan. Namun jelas, setelah periode ke 3 filosof besar itu semakin merosot. Kemunduran filsafat itu sejalan dengan kemunduran politik ketika itu, yaitu sejalan dengan terpecahnya kerajaan Macedonia menjadi pecahan-pecahan kecil setelah wafatnya Alexander The Great tepatnya pada ujung jaman helenisme yaitu pada ujung sebelum masehi menjelang neo Platonisme filsafat benar-benar mengalami kemunduran.
2. Filsafat Islam
Sejak awal kelahirannya, islam sudah memberikan penghargaan yang begitu besar kepada ilmu. Sebagaimana sudah diketahui, bahwa nabi Muhammad Saw. Ketika diutus oleh Allah sebagi rosul, hidup dalam masyarakat yang terbelakang, dimana paganisme tumbuh menjadi sebuah identitas sang melekat pada masyarakat arab masa itu. Kemudian islam datang menawarkan cahaya penerang yang mengubah masyarakat arab jahiliah menjadi masyarakat yang berilmu dan beradab.
Sejarah perkembangan ilmu dalam islam dibagi dalam beberapa zaman, seperti uraian berikut ini:
a. Penyampaian Ilmu Dan Filsafat Yunani Ke Dunia Islam
Pengalihan pengetahuan ilmiah dan filsafat yunani ke duinia islam, dan penyerapan serta pengintegrasian pengetahuan itu oleh umat islam, merupakan sebuah catatan sejarah yang unik. Dalam sejarah peradaban manusia, amat jarang ditemukan suatu kebudayaan asing dapat diterima sedemikian rupa oleh kebudayaan lain, yang kemudian menjadikannya landasan bagi perkembangan intelektual dan pemaham filosofinya. Dalam perjalanan ilmu dan juga filsafat di dunia Islam, seringkali terjadi benturan–benturan sepereti perbedaan pendapat antara Plato dan Aristoteles yang menimbulkan pengaruh besar terhadap mazhab-mazhab Islam. Para tokoh-tokoh filsafat harus bersepakat diantara mereka sepanjang yang menjadi tujuan mereka adalah kebenaran.
b. Perkembangan Ilmu Pada Masa Islam Klasik
Sebagai mana telah disinggung diatas bahwa pentingnya ilmu pengetahuan sangat ditekankan oleh islam sejak awal, mulai masa nabi sampai dengan khulafaurrasyidin, pertumbuhan dan perkembangan ilmu berjalan dengan pesat seiring dengan tantangan zaman. Peristiwa penting dalam zaman ini adalah peristiwa Fitnah al-Kubra, peristiwa ini bermunculan aliran politik dan teologi, masuknya unsur-unsur budaya Perso-Semitik dan budaya helenisme.
c. Perkembangan Ilmu Pada Masa Kejayaan Islam
Pada masa kejayaan kekuasaan islam, khususnya pada masa pemerintahan dinasti Umayyah dan dinasti Abbasiyah, ilmu perkembangan sangat maju dan pesat. Kemajuan ini membawa Islam pada massa keemasannya, dimana pada saat yang sama wilayah-wilayah yang jauh diluar kekuasaan Islam masih berada pada masa kegelapan peradaban. Dalam sejarah islam kita mengenal nama-nama seperti Al-Mansur, Al-Ma’mun, dan Harun Al-Rasyid yang memberikan perhatian teramat besar bagi perkembangan ilmu didunia islam, selnjytnya juga ada tokoh yang bernama Al-Kindi, Al-Farabi. Pada zaman ini selain berkembangnya ilmu di bidang eksakta, matematika, fisika, kimia, geometri, juga dicatat kemajuan ilmu keislaman, baik didalam bidang tafsir, hadis, fiqihm ushul fiqih.
d. Masa Keruntuhan Tradisi Keilmuan Dalam Islam
Abad ke 18 dalam sejarah islam adalah abad yang paling menyedihkan bagi umat islam dan memperoleh catatan buruk bagi peradaban islam secara universal. Seperti yang diungkapkan oleh Lothrop Stoddard, bahwa menjelang abad ke 18, dunia islam telah merosot ke tingkat yang terendah. Islam tampaknya sudah mati, dan yang tertinggal adalah cangkakngnya yang kering kerontang berupa ritual tanpa jiwa dan tahayul yang merendahkan martabat umatnya. Ia menyatakan seandainya Muhammad bisa kembali hidup, dia pasti akan mengutuk para pengikutnya sebagai kaum murtad dan musyrik. Kesulitan-kesulitan ijtihad dan mistisisme asketik juga merupakan faktor yang menyebabkan kemunduran tradisi intelektual dan kailmuan didunia islam.[7]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Secara umum filsafat adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat segala sesuatu untuk memperoleh kebenaran. Ilmu pengetahuan tentang hakikat yang menanyakan hakikat atau sari atau inti atau esensi segala sesuatu. Filsafat dibagi menjadi tiga bagian: Ontologi, Epistimologi, Dan Aksiologi. Dalam perkembangan filsafat terjadi perkembangan disetiap zaman, selain perkembangan juga ada masa kemunduran atau kehancuran.
Daftar Pustaka
Bakhtiar Amsal, Filsafat Ilmu, (Jakarta: RajaGafindo Persada: 2005)
Jalaluddin, Filsafat Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: Rajawali pers: 2013)
0 comments:
Post a Comment