A.
Pendahuluan
Setiap manusia pasti melakukan
penyesuaian diri, baik penyesuaian secara biologis maupun sosial. Secara
biologi misalnya seseorang yang sudah terbiasa hidup di daerah dingin dan
pindah ke daerah panas, maka ia harus menyesuaikan diri dengan lingkungan/iklim
di daerah tersebut. Secara sosial misalnya anak rantau yang sebelumnya tidak
mengenal daerah barunya, maka ia harus menyesuaikan diri dengan lingkungan
tersebut, ia juga harus berinteraksi atau bersosialisasi dengan masyarakat
sekitar supaya terjalin hubungan baik. Jangan sampai malah mempawa dampak buruk
akibat kedatangannya tersebut. Setiap manusia juga harus dituntut untuk dapat
menyesuaikan dirinya dalam segala situasi dan kondisi apapun.
Dalam makalah ini akan dijelaskan
lebih detail tentang bagaimana pengertian penyesuaian diri, bentuk-bentuk
penyesuaian diri dan kebutuhan akan penyesuaian diri.
B.
Pengertian Penyesuaian Diri
Penyesuaian diri merupakan suatu
konstruk psikologi yang luas dan kompleks, serta melibatkan semua reaksi
individu terhadap tuntutan yang baik dari lingkungan luar maupun dari dalam
individu itu sendiri. Dengan perkataan lain, masalah penyesuaian diri
menyangkut seluruh aspek kepribadian individu dalam interaksinya dengan
lingkungan dalam dan luar dirinya.
Pengertian luas tentang proses
penyesuaian terbentuk seseuai dengan hubungan individu dengan lingkungan
sosialnya, yang dituntut dari individu tidak hanya mengubah kalakuannya dalam
menghadapi kebutuhan-kebutuhan darinya dari dalam dan keadaan di luar, dalam
lingkungan di mana ia hidup, akan tetapi juga dituntut untuk menyesuaikan diri
dengan adanya orang lain dan macam-macam kegiatan mereka. Jike mereka ingin
penyesuaian, maka hal itu menuntut adanya penyesuaian antara keinginan
masing-masingnya dengan suasana lingkungan sosial tempat mereka bekerja.
Penyesuaian diri pada prinsipnya
merupakan suatu proses yang mencakup respons mental dan tingkah laku, dengan
mana individu berusaha untuk dapat berhasil mengatasi kebutuhan-kebutuhan dalam
dirinya, ketegangan-ketegangan, konflik-konflik dan frustasi yang dialaminya,
sehingga terwujud tingkat keselarasan atau harmoni antara tuntutan dari dalam
diri dengan apa yang diharapkan oleh lingkungan di mana ia tinggal.[1]
Menurut Schneiders (1984)
penyesuaian diri yaitu suatu proses yang mencakup respon-respon mental
behavioral yang diperjuangkan individu agar dapat berhasil menghadapi
kebutuhan-kebutuhan internal, ketegangan, frustasi, konflik, serta untuk
menghasilkan kualitas keselarasaan antara tuntutan dari dalam diri individu
dengan tuntutan dari luar dunia atau lingkungan tempat individu berbeda.
C.
Bentuk-Bentuk Penyesuaian diri
Seseorang dapat dikatakan memiliki
penyesuaian diri yang baik (well adjusted person) manakala mampu
melakukan respon-respon yang matang , efisien, memuaskan, dan sehat. Dikatakan
efisien artinya mampu melakukan respons dengan melakukan dengan mengeluarkan
tenaga dan waktu sehemat mungkin. Dikatakan sehat artinya bahwa respons yang
dilakukannya dengan hakikat individu, lembaga atau kelompok antarindividu, dan
hubungan antar individu dengan penciptanya. Sebaliknya, reaksi yang tidak memuaskan,
tidak efektif, dan tidak efisien seringkali diartikan sebagai penyesuaian diri
yang kurang baik, buruk, atau dikenal dengan istilah “malasuai” (maladjustment).
Menurut Schneiders (1984) bentuk
penyesuaian diri dapat ditinjau dari tiga sudut pandang, yaitu :
1.
Penyesuaian
diri sebagai bentuk adaptasi (adaptation)
Pada mulanya penyesuaian diri diartikan sama dengan adaptasi
padahal adaptasi ini umumnya lebih mengarah pada penyasuaian diri dalam arti
fisik, fisiologis, atau biologis. Misalnya, seseorang yang pindah tempat dari
daerah panas ke daerah dingin harus beradaptasi dengan iklim yang berlaku
didaerah dingin tersebut. Dengan demikian, dilihat dari sudut pandang ini,
penyesuaian diri cenderung diartikan sebagai usaha mempertahankan diri secara
fisik (self-maintenance atau survival). Oleh sebab itu, jika
penyesuaian diri hanya diartikan sama dengan usaha mempertahankan diri maka
hanya selaras dengan keadaan fisik saja, bukan penyesuaian diri dalam arti
psikologis. Akibatnya, adanya kompleksitas kepribadian individu serta adanya
hubungan kepribadian individu dengan lingkungan menjadi terabaikan. Padahal,
dalam penyesuaian diri sesungguhnya tidak sekedar penyesuaian fisik, melainkan
yang lebih kompleks dan lebih penting lagi adalah adanya keunikan dan
keberbedaan kepribadian individu dalam hubungannya dengan lingkungan.
2.
Penyesuaian
diri sebagai bentuk konformitas (conformity)
Penyesuaian diri dimaknai sebagai bentuk konformitas banyak membawa
akibat lain. Dengan memaknai penyesuaian diri sebagai usaha konformitas,
menyiratkan bahwa di sana individu seakan-akan mendapat tekanan kuat untuk
harus selalu mampu mengindarkan diri dari penyimpangan perilaku, baik secara
moral, sosial maupun emosional. Dalam sudut pandang ini, individu selalu
diarahkan kepada tuntutan konformitas dan terancam akan tertolak dirinya
manakala perilakunya tidak sesuai dengan norma-norma yang berlaku.
Keragaman pada individu menyebabkan penyesuaian diri tidak dapat
dimaknai sebagai usaha konformitas. Misalnya, pola perilaku anak-anak berbakat
atau anak-anak genius ada yang tidak berlaku atau tidak dapat diterima oleh
anak-anak berkemampuan biasa. Namun demikian, tidak dapat dikatakan behwa
mereka mampu menyesuaikan diri. Norma-norma sosial dan budaya terkadang terlalu
kaku dan tidak masuk akal untuk dikenakan pada anak-anak yang memiliki
keunggulan tingkat inteligensi atau anak-anak berbakat. Selain itu, norma yang
berlaku pada suatu budaya tertentu tidak sama dengan norma pada budaya lainnya
sehingga tidak mungkin merumuskan serangkaian prinsip-prinsip penyesuaian diri
berdasarkan budaya yang dapat diterima secara universal. Dengan demikian,
konsep penyesuaian diri sesungguhnya bersifat dinamis dan tidak dapat disusun
berdasarkan konformitas sosial.
3.
Penyesuaian
diri sebagai bentuk usaha penguasaan (mastery)
Penyesuaian diri sebagai bentuk usaha penguasaan yaitu kemampuan
untuk merencanakan dan mengorganisasikan respons dalam cara-cara tertentu
sehingga konflik-konflik, kesulitan, dan frustasi tidak terjadi. Dengan kata
lain, penyesuaian diri diartikan sebagai kemampuan penguasaan dalam mengembangkan
diri sehingga dorongan, emosi, dan kebiasaan menjadi terkendali dan terarah.
Hal itu juga berarti penguasaan dalam memiliki-kekuatan-kekuatan terhadap
lingkungan, yaitu kemampuan menyesuaikan diri dengan realitas berdasarkan
cara-cara yang baik, akurat, sehat, dan mampu bekerja sama dengan orang lain
secara efektif dan efisien, serta mampu memanipulasi faktor-faktor lingkungan
sehingga penyesuaian diri dapat berlangsung dengan baik.[2]
D.
Kebutuhan Akan Penyesuaian Diri
Nilai terakhir bagi individu dari
hasil-hasil pendidikannya terletak pada sampai sejauh manakah apa yang telah
dipelajarinya atau proses yang telah dilaluinya. Sesuai bagi dirinya untuk
penyesuaian yang wajar terhadap kebutuhan-kebutuhan hidupnya sendiri dan
terhadap tuntutan-tuntutan yang datang dari masyarakat. Ia membawakan
pengalaman-pengalaman pendidikannya dalam jumlah kebulatan yang berupa
ebilitas-ebilitas, keinginan-keinginan, dan sikap-sikap. Dengan
pengalaman-englaman yang diperoleh dari sekolah dan dari luar sekolah secara
terus-menerus dibentuk ke dalam jenis pribadi yang sekarang dan kemungkinan apa
saja yang akan terjadi atas dirinya. Seluruh tempat-tempat yang mempunyai
relasi dengan perkembangan anak dan adolesen terutama rumah tangga dan sekolah
harus seawal mungkin disadari peranannya pada tingkah laku individu sebagai
faktor-faktor yang berarti dalam memberi gambaran pencapaian kepuasan dan
produktifitas. Seorang individu tidak dilahirkan dengan kelengkapan dapat
menyesuaikan diri secara wajar atau tidak. Dalam hal ini potensi-potensi fisik,
mental dan emosional dipengaruhi dan dibentuk oleh faktor-faktor lingkungan
dimana ia menemukan dirinya bahwa ejasmen atau melajasmen itu berkembang
berangsur-angsur.[3]
Kebutuhan akan penyesuaian diri sangatlah
penting dan perlu adanya penyesuaian diri yang sehat, yaitu meliputi : 1)
kematangan emosional; 2) kematangan intelektual; 3) kematangan sosial; dan 4)
tanggung jawab.
1.
Kematangan
emosional mencakup aspek-apek:
a.
Kemantapan
suasana kehidupan emosional.
b.
Kemantapan
suasana kehidupan kebersamaan dengan orang lain.
c.
Kemantapan
untuk santai, gembira, dan menyatakan kejengkelan.
d.
Sikap
dan perasaan terhadap kemampuan dan kenyataan diri sendiri.
2.
Kematangan
intelektual mencakup aspek-aspek:
a.
Kemampuan
mencapai wawasan diri sendiri.
b.
Kemampuan
memahami orang lain dan keragamannya.
c.
Kemampuan
mengambil keputusan.
d.
Keterbukaan
dalam mengenal lingkungan.
3.
Kematangan
sosial mencakup aspek-aspek:
a.
Keterlibatan
dalam partisipasi sosial.
b.
Kesediaan
kerja sama.
c.
Kemampuan
kepemimpinan.
d.
Sikap
toleransi.
e.
Keakraban
dalam pergaulan.
4.
Tanggung
jawab mencakup aspek-aspek:
a.
Sikap
produktif dalam mengembangkan diri.
b.
Melakukan
perencanaan dan melaksanakan secara fleksibel.
c.
Sikap
altruisme, empati, bersahabat dalam hubungan interpersonal.
d.
Kesadaran
akan etika dan hidup jujur.
e.
Melihat
perilaku dari segi konsekuensi atas dasar sistem nilai.
f.
Kemampuan
bertindak independen.[4]
E.
Kesimpulan
Penyesuaian diri merupakan suatu
konstruk psikologi yang luas dan kompleks, serta melibatkan semua reaksi
individu terhadap tuntutan yang baik dari lingkungan luar maupun dari dalam
individu itu sendiri.
Menurut Schneiders (1984) bentuk penyesuaian diri dapat ditinjau
dari tiga sudut pandang, yaitu :
1. Penyesuaian diri sebagai bentuk adaptasi (adaptation).
2. Penyesuaian diri sebagai bentuk konformitas (conformity).
3. Penyesuaian diri sebagai bentuk usaha penguasaan (mastery)
Nilai terakhir bagi individu dari hasil-hasil
pendidikannya terletak pada sampai sejauh manakah apa yang telah dipelajarinya
atau proses yang telah dilaluinya. Sesuai bagi dirinya untuk penyesuaian yang
wajar terhadap kebutuhan-kebutuhan hidupnya sendiri dan terhadap
tuntutan-tuntutan yang datang dari masyarakat.
Kebutuhan akan penyesuaian diri
sangatlah penting dan perlu adanya penyesuaian diri yang sehat, yaitu meliputi
: 1) kematangan emosional; 2) kematangan intelektual; 3) kematangan sosial; dan
4) tanggung jawab.
F.
DAFTAR PUSTAKA
·
Dra.
Desmita, M.Si, Psikologi Perkembangan Peserta Didik, Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2016.
·
Mohamad
Ali dan Mohamad Ansrori, Psikologi Remaja, Jakarta: PT Bumi Aksara,
2017.
·
Drs.
Z. Kasijan, Psikologi Pendidikan 2, Surabaya: PT Bina Ilmu, 1987.
[1] Dra. Desmita,
M.Si, Psikologi Perkembangan Peserta Didik, Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2016, H 191-193.
[2] Mohamad Ali
dan Mohamad Ansrori, Psikologi Remaja, Jakarta: PT Bumi Aksara, 2017, H
173-176.
[4] Dra. Desmita,
M.Si, Psikologi Perkembangan Peserta Didik, Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2016, H 195-196.
mau tanya dong yg bagian latar belakang itu diambil dari buku apa yahh
ReplyDelete